Besok pagi saya akan menemani seorang teman pindahan ke luar kota, sekitar 600km di sebelah utara München. Dia bukan lagi seorang mahasiswi kedokteran, di kota baru itu dia akan memulai kehidupannya sebagai seorang asisten dokter.
Dalam setahun terakhir ini, bisa dibilang, dia lah teman terdekat saya di München. Bukan hanya karena faktor tempat tinggal yang dekat ( kita tinggal di apartemen yang sama, dia lantai 1, saya lantai 2 ), tapi juga faktor hati dan rasa. Ada beberapa persamaan, yang mungkin mempererat pertemanan dia dan saya. Dia pernah -merasa- ditinggalkan oleh sahabat karibnya, saya juga. Dia -merasa- sudah berusaha untuk menempatkan diri sebaik mungkin, supaya bisa tetap bertahan mendapatkan tempat di hati sahabat karibnya, saya juga. Dia -merasa- serapi mungkin sudah memoles semua buruknya, menjaga agar persahabatannya langgeng, saya juga. Dia akhirnya -merasa- bahwa semua yang dia usahakan hanya membawa nihil, dan sedikit demi sedikit mengendorkan kepercayaannya terhadap persahabatan itu lalu berusaha untuk tetap jalan melihat ke depan tanpa menoleh lagi ke belakang, saya juga.
Mungkin karena adanya kemiripan pengalaman , dia dan saya bisa jadi lebih mengerti satu sama lain. Kami sama-sama tahu, seberapa sakitnya ditinggal oleh sahabat karib. Kami sama-sama tahu, betapa kami takut untuk sekali lagi mempercayai dan menganggap seseorang itu sahabat karib.
Saya percaya tidak ada yang terjadi hanya karena kebetulan. Saya percaya, kalaupun ada suatu kebetulan itu, itupun sebenarnya sudah direncanakan. Saya percaya, dipertemukan atau didekatkannya dia dan saya sejak sekitar tahun lalu , bukanlah suatu kebetulan. Justru dari ketidaksempurnaannya dan saya, kami bisa saling melengkapi. Justru karena ada luka dan trauma yang kami simpan dalam-dalam, kami bisa saling menghargai dan menjaga untuk tidak saling melukai.
Teman / Pertemanan .. kedua kata itu selalu berhasil membuat saya merenung lama. Mengingat-ingat orang lalu lalang dalam kehidupan saya. Mampir, tinggal, pergi. Kenalan, berhubungan, bersahabat, pertengkaran, perpecahan, perpisahan. Sebagai seseorang yang tinggal jauh dari orangtua dan saudara, saya tahu benar seberapa besar arti teman. Saya bukan orang yang gampang berteman dengan siapa saja, sayangnya bukan. Saya juga bukan orang dengan hati yang besar, yang mau membuka telinga untuk siapa saja yang butuh didengarkan, sayangnya bukan. Tapi saya tahu benar, apa yang bisa saya berikan, akan saya berikan untuk teman saya - untuk sahabat saya. Suatu emosionalitas yang tinggi inilah, yang justru selalu membenturkan saya pada kenyataan, bahwa teman atau pertemanan pun tidak abadi. Sama seperti segala sesuatu lainnya, pertemanan pun sepertinya punya takaran yang bisa berubah atau bahkan menjadi habis !
Saya semakin menjadi tidak yakin, mana yang lebih baik, berjalan sendiri dan sepi, tapi tidak mengalami sakit karena ditinggal atau dikhianati, atau menjalin pertemanan dengan risiko ditinggalkan dan lagi-lagi merasa sakit dan kecewa.
Saya berharap suatu waktu nanti saya bisa menilai hal-hal dengan lebih jelas dan menemukan jawaban atas keragu-raguan saya. Saya berharap saya bisa menjadi teman yang lebih baik , yang bisa lebih memahami keinginan orang lain. Dan saya juga berharap, seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, saya tidak akan lagi terluka dalam, atas gores yang mungkin ditimbulkan oleh seorang teman.
Seberapa pantaskah, persahabatan itu diperjuangkan, seandainya seorang sahabat itu, pernah pergi meninggalkanmu dan tidak lagi menganggapmu ada ? Dan apakah, seorang itu masih layak dipanggil sahabat ?
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen