Donnerstag, 12. November 2009

belajar melepaskan

Seandainya dua tahun lalu, tidak pernah saya terima E-mail itu, maka hari ini akan bertambah usia mu satu tahun lagi. Seandainya, kabar itu memang tidak pernah ada, mungkin hari ini sudah dua gelar sarjana kamu sandang, mungkin kamu sudah bekerja di perusahaan impian mu, dan cuti pertamanya sudah kamu ambil, untuk mengunjungi ku di sini, lalu bersama-sama kita keliling Eropa, seperti yang pernah kita impikan.

Adalah kenyataan yang seperti selalu sembunyi di tempat lain, sedangkan manusia hanya berkutat pada perandaian yang diciptakan imaji nya saja. Seperti saya, yang meskipun sudah hampir genap dua tahun, masih susah menerima kenyataan -- kepergianmu. Meskipun mata ini tidak lagi berair. Meskipun saya tidak lagi bangun di malam hari karena bermimpi tentang mu. Meskipun saya tidak lagi gila,setiap saat mengecek apakah messenger mu online atau tidak. Meskipun saya berusaha mencoba mengerti, sungguh mengerahkan semua tenaga untuk mencoba memahami, tapi kenyataannya saya tidak pernah bisa benar-benar mengerti. Kenyataannya adalah yang saya bisa hanya merelakan dan menerima kepergianmu.

Dengan segala keterbatasan pengetahuan saya, saya tidak tahu, di mana , bagaimana, dan siapakah kamu sekarang. Saya tidak tahu, apa kamu mendengar saat nama mu saya sebutkan di doa sebelum tidur saya. Saya tidak tahu, apa doa-doa itu dan semua kenangan punya kita yang masih saya simpan rapi, cukup membuatmu merasa lebih tenang, merasa lebih bahagia. Bahagia kah kamu di sana ? Tidak ada kah sedikitpun rindu menyeruak di dada mu ?

Apakah kamu, di suatu tempat nun jauh di sana, masih sempat mengamati kami di sini ?
Tahu kah kamu apa-apa saja yang terjadi sejak kamu berhenti mengada di tengah-tengah kami?
Teman-teman kuliah mu menanam sebuah pohon di kampus kalian, dan menamai pohon itu Christy.. diambil dari nama tengah mu. Saya mau kamu tahu, mereka kehilangan kamu ! Kehidupan beberapa dari mereka sempat terhenti sejenak, seakan ingin berontak pada realita di mana kamu tiba-tiba meraib. Mereka merindukan senyumanmu, tim kerja mu di laboratorium masih membutuhkan kerjasama dan suara mu yang riang.
Orangtua mu sempat mengasingkan diri. Mereka pergi jauh sekali dari rumah dulu kamu tinggal dan tumbuh besar. Mereka pergi untuk mengobati diri mereka sendiri. Mengobati diri dari luka yang tidak tampak dan tidak bisa disembuhkan dengan obat atau operasi. Mereka menghindari sudut, aroma, bebunyian atau apapun yang menoreh ingatan tentang mu. Itu dulu.. Namun tenanglah, kamu bisa berbangga akan mereka. Sekarang mereka sudah jauh lebih legawa. Mereka, mungkin seperti halnya saya, mencoba untuk menerima kenyataan.. tanpa bisa memahami nya.
Saya ? Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya melewati beberapa tahap dengan perasaan yang berbeda-beda. Awalnya saya marah, sangat-sangat marah. Saya menganggap mu picik dan berpikir sempit. Setahu saya, kamu adalah orang yang berpikiran optimis dan selalu memberi motivasi kepada saya. Keputusan terakhir mu itu adalah hal yang membuat saya merasa dikhianati. Keputusan mu untuk berbuat seolah kamu adalah Shinigami atau sesuatu lain yang bahkan lebih berkuasa. Keputusan mu untuk memutuskan rantai hidup mu sendiri dan benih kecil yang sedang mencoba hidup di dalam mu. Saya tidak akan pernah mengerti, apakah gengsi atau keputus-asa-an akan cinta, yang lebih membunuhmu saat itu. Kemarahaan saya mereda dengan muncul nya rasa bersalah dalam diri saya. Saya menyalahkan diri saya sendiri, karena menjadi seorang teman yang tidak becus. Saya bertanya-tanya, seandainya saja saya lebih sering menghubungi mu, apakah kamu akan menceritakan semua masalah mu ? Seandainya saat itu kamu bisa berbagi dengan saya, apakah itu akan meringankan beban mu ? Seandainya saya lebih perhatian, apa kamu masih akan mengada sampai sekarang ? Kemunculan rasa bersalah itu tidak sendirian. Saya juga menyalahkan laki-laki itu. Laki-laki yang bahkan dalam doa saya kutuk habis-habisan. Saya meninginkan dia tidak akan pernah lagi mendapatkan cinta. Dia sudah membuang kamu, dan benih kecil yang sedang mencoba hidup di dalam mu. Saya menginginkan dia tidak akan pernah akan bisa merasakan bagaimana dicintai oleh seorang anak. Marah - kecewa - kehilangan - rasa bersalah . Perasaan itu yang selalu mondar-mandir di dalam diri saya. Sampai akhirnya waktu mempertemukan saya dan papa kamu. Dia menunjukkan foto mu. Kamu tetap cantik seperti saat kamu masih hangat dan bernapas. Melihat mu di foto itu seperti membangunkan saya dari mimpi. Sumber dari segala marah, kecewa, kehilangan, dan rasa bersalah itu bukanlah kamu, namun diri saya sendiri. Saya yang terlalu egois dan tidak mau percaya bahwa kamu tidak ada lagi bersama saya di sini. Parasmu yang hanya tampak tertidur namun tenang, tidak menunjukkan duka, tidak menunjukkan sakit, membuat saya sadar bahwa airmata saya yang akan menghambat bahagiamu. Dari saat itu saya belajar merelakan, menerima.. meskipun tidak akan pernah saya mengerti atau saya setujui cara pikir mu menarik keputusan terakhir itu. Keputusan terakhir mu, yang membuat jarak kita bukan hanya terpisah benua, namun antara hidup dan mati.

* untuk seorang teman, seorang saudara, yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri di bulan Desember 2 tahun lalu. " hey Sist, I still miss you.. I hope my prayers can reach you. till we meet again, Sist ! "

** untuk semua yang membaca ini.. Suicide is not the solution of your problem !!

Sonntag, 1. November 2009

yang ultah hari ini

Hari ini Papa saya berulang tahun. Saya kaget sekaligus tidak bisa berhenti tertawa sejenak saat ber voice and video chat dengannya tadi. Genap setengah abad usianya dia jadikan alasan untuk mencukur rambutnya sampai habis. Waktu saya tanya kenapa gundul, dia menjawab , " usia setengah abad itu kan harus disyukuri, menunjukkan bahwa setengah abad juga lamanya Papa sudah dijaga oleh Nya. bukan hal biasa.. ." Ini kali kedua Papa saya mencukur rambutnya habis. Pertama kali adalah sekitar empat tahun lalu. Saat itu seorang kakak dari Papa saya didiagnosa kanker payudara. Dokter segera menyarankan untuk melakukan operasi yang setelahnya akan disambung dengan chemoterapi. Efek dari chemoterapi itu bukan hanya menyerang fisik, namun juga psikis tante saya. Dia seperti kehilangan harapan, dia takut waktunya akan segera habis. Dia jadi menutup diri baik dengan teman-temannya , juga dengan saudara-saudaranya. Apalagi saat itu rambutnya rontok, dia gundul, beberapa flek hitam juga memenuhi kulitnya di beberapa tempat. Hal itu semakin membuatnya kehilangan percaya diri untuk berhubungan sosial. Papa saya kemudian berinisiatif untuk menggunduli rambutnya juga. Meskipun saat itu saya sempat berkata bahwa itu percuma, karena menurut saya kalau laki-laki gundul itu tidak apa-apa, sedangkan untuk seorang perempuan, itu adalah suatu masalah besar ! Ternyata saya salah. Entah kenapa atau bagaimana, sejak Papa saya juga gundul, tante saya jadi lebih terbuka dengan Papa saya. Dia mau menceritakan hal-hal yang ditakuti dan yang dikhawatirkannya. Dia juga lebih mau mendengarkan masukan dari Papa saya. Pelan-pelan, tante saya mulai punya percaya diri lagi, untuk ikut makan bersama dengan saudara-saudara yang lain, untuk kembali datang ke gereja, untuk kembali berlatih choir di gereja. Saya selalu salut melihat bagaimana Papa saya begitu menghargai tali persaudaraannya dengan saudara-saudaranya. Saya selalu terkesima melihat bahwa rasa sayang nya ke saudara-saudaranya lebih dalam dari yang saya tahu.

Hari ini Papa saya berulang tahun. Genap setengah abad usianya. Tidak, dia tidak mengundang teman-temannya untuk berpesta. Dia memilih tidur sampai jam 1 siang, makan mie ulang tahun di rumah saja dengan Mama saya, setelah itu menghabiskan sore di rumah orangtua nya ( oma opa saya ). Papa saya bukanlah anak emas dari oma opa saya, justru sebaliknya. Dari yang saya dengar, Papa saya sudah jadi anak yang bandel sejak kecil. Papa saya adalah anak yang paling sering terkena hukuman dari opa saya, tapi dia tidak cengeng seperti saudara nya yang lain. Papa saya pernah berurusan dengan petugas keamanan pasar saat dia masih duduk di bangku SD, karena menantang dan kemudian (mencoba) berkelahi dengan salah seorang pedagang yang selalu mengganggu dan mengejek oma saya. Menurut oma, Papa saya adalah anak nya yang paling 'lain'. Punya selera humor yang tinggi, punya banyak sekali teman, tapi masalah dia, tidak ada orang lain yang boleh tahu. Menurut oma juga, Papa dan Opa paling sering berselisih paham, itu karena sifat mereka berdua paling mirip. Sama-sama kepala batu kata oma. Namun dibalik kebandelannya, dibalik keras kepala dan sifat tertutup nya.. ternyata Papa saya juga lah, yang selalu sabar menjaga oma opa saya saat mereka sedang sakit. Papa saya selalu hapal makanan kesukaan oma opa saya. Papa saya tidak pernah malas membantu Opa saya mandi, menggunting kuku nya, membelikan bubur kesukaan oma saya pagi-pagi sekali dan mengantarkannya ke oma. Hal-hal kecil, yang lagi-lagi membukakan mata saya, bahwa Papa saya mencintai dan menghormati orang tua nya, lebih dari yang saya tahu.

Hari ini Papa saya berulang tahun. Saya tidak memberinya kado apapun. Saya bahkan tidak bisa berada di dekat nya dan mencium pipi nya sembari mengucapkan doa-doa lekat pada kupingnya. Namun tadi malam sebelum terlelap, sudah saya pohonkan kepada Nya, untuk Papa saya, umur yang panjang, badan yang sehat, jiwa yang matang dan bijak, akal yang jernih dan bersih, dekat dengan berkah selamat dan rejeki, jauh dari petaka, hidup yang dicukupkan dan dianugrahkan bahagia. Saya bisikkan juga pada Nya,ucapan terimakasih yang tidak akan cukup saya tegaskan dengan kata-kata, untuk kesempatan yang dihadiahkan kepada saya, menjadikan Papa saya sebagai Papa saya. Saya mensyukuri kenyataan, bahwa dalam tubuh saya mengalir darahnya, menunjukkan bahwa saya benar-benar bagian darinya. Saya mensyukuri memilikinya sebagai Papa. Seorang yang selalu berhasil membaca raut saya. Seorang yang bisa membaca pikiran saya, dan menetralisir pikiran-pikiran buruk saya. Seorang yang meninabobokan saya, menggendong saya berjam-jam sampai saya bisa tertidur saat dulu tangan saya pernah retak, mengajarkan saya memegang pensil, membaca, berhitung, membaca jam, menyebrang jalan, menyisir rambut, ahh.. tidak akan mampu saya sebutkan satu persatu. Seorang yang selalu bisa menerima saya, sebesar apapun kesalahan yang saya lakukan. Seorang yang selalu memaafkan dan tetap mencintai saya, tanpa pamrih, tanpa meminta kembali untuk dicintai sebesar itu juga.
Hal terakhir, yang saya mohon dari Nya tadi malam, adalah kesempatan untuk lagi-lagi tetap berdekatan hidup dengannya, mungkin sampai di sirkumstansi berikutnya, kalau memang kesempatan itu ada.

Hari ini Papa saya berulang tahun. Genap setengah abad usianya. Saya sangat ingin berada di dekatnya, menikmati mie ulang tahun dan ayam goreng bersamanya. Bertukar cerita.. melempar tawa.. mensyukuri adanya.

Always miss you Pop..
XOXO