Freitag, 24. Juli 2009

saying goodbye is never easy

Dua hari yang lalu saya menuntaskan bagian pertama ujian negara saya. ya, itu baru bagian pertama, bagian kedua nya ada sekitar tiga minggu ke depan. Begitu keluar dari ruang ujian, dan mendapatkan kata-kata 'selamat, Anda lulus' dari para penguji, berhamburanlah di kepala saya, hal-hal menyenangkan yang akan saya lakukan setibanya di rumah. Saya membayangkan menelpon kedua orang tua saya dan mengabarkan saya lulus ujian babak pertama ini, saya membayangkan mereka akan tertawa dengan riang. Saya membayangkan akhirnya saya bisa surfing-surfing di internet sambil mendengarkan musik keras-keras. Saya juga membayangkan akhirnya saya bisa bertelpon atau berchatting ria dengan 'dia' , yang selama persiapan ujian kemarin sering tidak saya acuhkan.

Sebut saja namanya 'Shika'. Dia tidak tinggal di kota yang sama dengan saya. Tapi mungkin karena punya nasib yang sama, sama sama orang indo yang lagi menambah ilmu di jerman, sama sama jauh dari papa mama dan keluarga, sama sama membutuhkan tempat untuk curhat dan sekedar ngobrol omongkosong , saya dan Shika jadi sering ngobrol lewat messenger 'chatting'. Chatting itu seperti menjadi rutinitas buat kita berdua. Disadari atau tidak, Shika menjadi suatu bagian yang 'penting' dalam keseharian saya. Saya merasa masih ada yang kurang lengkap kalau saya tidak melihatnya online. Saya merasa ada yang tidak sama di hari saya, kalau saya belum menegursapa nya lewat messenger. Shika mempunyai porsi yang bahkan mungkin lebih penting, dari teman-teman saya yang sekota dengan saya dan yang bisa saya lihat setiap hari. Saya bisa bercerita banyak hal , dan dia mendengarkan.

Suatu hal yang masih belum bisa saya mengerti dari Shika adalah, saat dia tiba-tiba menarik diri, dan berubah sikap 180 derajat. Saya tidak pernah tahu apa sebabnya. Tiba-tiba dia diam, dia tidak peduli dengan semua apa yang saya ceritakan, dan kadang bahkan dia menghilang. Saya pernah bertanya dan memintanya terusterang, kalau saya melakukan kesalahan, tolong marahi saya, tolong konfrontasi saya, tapi jangan diamkan saya, dan jangan diam-diam menghilang dari hidup saya. Shika bilang, itu lah dia apa adanya. Bukan saya yang salah, tapi memang seperti itulah dia. Dengan kalimat seperti itu, semuanya seperti tanda bagi saya, bahwa Shika masih melarang saya masuk ke sebagian hidup dia. Ada batas-batas dimana saya harus tahu, kapan saya harus berhenti untuk tidak mencoba mencampuri hidupnya. Saya mencoba mengerti, saya mencoba memahami, karena saya menganggapnya penting, saya ingin Shika tetap menjadi teman saya.. saya ingin dia tetap ada di hari-hari saya. Sifatnya akan kembali berubah menjadi biasa, setelah beberapa hari. Dia akan kembali menjadi Shika yang normal, dan Shika yang hiperaktiv. Lalu suatu saat dia kembali lagi begitu diam, dan tidak peduli dengan apa-apa sama sekali, dan menjadi normal lagi di lain waktu. Saya tidak pernah tahu, apa ? kenapa ? kapan ? siapa ? . Saya hanya bisa bermain judi, menang - adalah saat Shika mempunyai mood yang baik , kalah- adalah saat Shika begitu menutup diri dan membiarkan saya bertanya-tanya sendiri.

Dua hari yang lalu, setibanya di rumah setelah mendapatkan pernyataan saya lulus ujian. Hal pertama yang saya lakukan adalah menelpon papa mama saya. Setelah itu, yang hanya di pikiran saya adalah Shika, cuma Shika ! Saya mau memberitahu kelulusan saya. Saya ingin berbagi berita gembira dengan dia. Saya ingin menunjukkan kepadanya bahwa dia teman yang penting dalam hidup saya. Bahwa meskipun saya dan dia sudah sangat lama tidak bertatapmuka dan hanya berhubungan lewat kabel, dia punya arti yang besar dalam hidup saya ! Dan saya menghargai itu semua ! Namun kadang hal-hal terjadi di luar angan-angan kita. Saat saya mengabarkan dan menceritakan itu semua, saya tidak mendapatkan respon yang saya bayangkan dari Shika. Dia tidak sedang dalam mood nya yang bisa ikut-ikut bergembira bersama saya. Saya bahkan tidak yakin, apa sebenarnya dia mendengarkan semua yang saya ceritakan. Tidak bisa saya pungkiri, saya sangat kecewa. Saat itu saya memutuskan untuk mengakhiri konversasi dengannya, mematikan komputer, mematikan lampu, membuka jendela lebar-lebar, lalu tidur.
Sebelum saya terlelap dalam dunia mimpi saya, saya menyadari sarung bantal saya basah ..

PS : Saya TIDAK cengeng ! saya hanya merasa diri saya terlalu menyedihkan, karena saya tahu, saya tidak akan bisa menerima Shika saat dia datang lagi.

PPS : pergi dari Shika adalah alasan ke dua, mengapa rumah baru ini didirikan.

Keine Kommentare: