Samstag, 19. September 2009

cause broken heart won't kill, if you don't let it happen

Seorang kenalan baru pernah bertanya kepada saya, apakah saya sedang dalam keadaan 'broken heart' yang sangat parah, setelah dia membaca salah satu postingan di blog saya ini. Saya tidak mampu menjawab pertanyaannya. Bukan karena saya tidak mau, bukan karena saya tidak ingin dia ikut campur perasaan saya, namun karena saya sendiri tidak tahu pasti.

Dalam keadaan seperti apakah, seorang manusia digolongkan sebagai seseorang yang sedang mengalami patah hati ? Dan skala apakah yang mampu mengkondisikan seberapa parah patah hati itu ?

Kehilangan yang sangat besar dan begitu menghantam diri saya, sudah pernah saya alami dua kali. Pertama, adalah saat saya kehilangan Oma. Oma adalah seseorang yang merawat saya dari bayi hingga saya hampir dua tahun. Oma bagi saya adalah seseorang yang selalu lembut, selalu mempunyai dongeng sebelum tidur, selalu wangi, selalu tertawa, selalu ramah, selalu memasak makanan enak, selalu cantik, dan yang paling indah adalah kenyataan bahwa dia selalu mengistimewakan saya. Oma saya harus pergi untuk selamanya saat saya kelas 3 SMA. Tidak berapa lama setelah saya menulis ujian akhir SMA. Saya rasa, saat itulah saya merasakan patah hati yang begitu mendalam. Saya tetap hidup seperti orang hidup. Bernafas, makan, tidur, berjalan, namun segala sesuatunya seperti tanpa esensi. Saya tidak bisa mempercayai seseorang yang sangat saya cintai itu tiba-tiba harus tertidur tanpa pernah bangun kembali. Tidak akan ada balasan saat saya menyapa, tidak akan ada lagi belaian di kepala saya saat saya mencium pipinya, matanya tidak akan terbuka lagi untuk melihat saya, dan suaranya tidak akan pernah saya dengar lagi. Saya terpuruk, saya merasa ditinggalkan, saya merasa kecil dan tidak berguna.

Kali kedua adalah saat seorang yang juga sangat saya cinta, seorang laki-laki muda yang saat itu bisa disebut teman spesial saya, tiba-tiba berhenti berbicara kepada saya. Sepertinya saya tidak pernah ada dalam hidupnya. Dia benar-benar komplit tidak mengacuhkan keberadaan saya lagi. Beberapa lama setelah aksi diam nya, tanpa menjelaskan satu pip pun kepada saya, saya mendengar bahwa dia mempunyai teman spesial baru. Dia punya cinta yang baru untuk seseorang yang baru. Saat itu saya benar-benar berpikir saya habis. Saya pikir saya akan pelan-pelan hilang tertelan perasaan saya sendiri yang serba terlalu. Terlalu sedih, terlalu kecewa, terlalu cemburu, terlalu marah, terlalu menyalahkan diri sendiri, terlalu nekad !

Kenyataannya adalah, saya masih ada sampai detik ini. Dua kali patah hati yang begitu dalam dan saya pikir akan memangsa jiwa saya sendiri lambat laun, tidaklah menjadi benar. Waktu membawa saya menjadi pulih dan kuat kembali. Bahkan mungkin jadi lebih kuat dari sebelumnya. Pikiran bahwa saya tidak akan mampu melewati semuanya itu, juga bukanlah suatu yang menjadi nyata. Awalnya memang berat, awalnya memang semua menjadi lebih gelap dan lebih dingin. Namun suatu pagi saya menemukan mata saya tidak lagi basah dan bengkak. Suatu hari saya menyadari bahwa saya mampu membicarakan kepergian Oma saya, atau keputusan mantan teman spesial saya itu, tanpa ada rasa sakit di dada. Bahkan sekarang ini, kalau saya sedang menuliskan semuanya, saya hanya merasa sedikit getir, namun saya tidak lagi bersedih hati, saya tidak harus lagi meneteskan airmata. Saya bangga dan bahagia untuk segala liku yang boleh saya lewati, lebih lagi kalau saya berhasil melewatinya dengan baik dan mampu meneruskan perjalanan saya.

Apakah saat ini saya kembali mengalami patah hati itu ? Apakah patah hatinya parah, bahkan lebih parah dari dua sebelumnya ? Saya tidak tahu ..
Saya tahu saya akan mengalami 'kehilangan' sekali lagi. Dan kali ini, beda seperti dua sebelumnya. Saya yang akan menghilang. Saya yang akan menutup semua celah, agar saya dan dia tidak mungkin lagi saling bertemu. Bukan karena saya tidak meninginkannya lagi. Justru sebaliknya, semakin hari saya semakin kecanduan akan dirinya. Bukan karena dia melakukan suatu kesalahan dan saya tidak bisa memaafkannya, justru sebaliknya keputusan saya lah yang mungkin tidak termaafkan. Bukan karena rasa saya untuknya berubah, justru karena saya tidak berubah sama sekali, tidak jiwa, tidak raga, untuk itu lah saya harus pergi. Untuk apa semuanya ini saya lanjutkan, kalau saya 100% pasti, bahwa tidak ada masa depan untuk satu hal ini ?
Saya yang akan pergi, saya yang akan menghilang, tapi saya juga yang akan kehilangan dia setengah mati.

Belum ada yang tahu, apa saya akan mengalami patah hati yang parah ? Dan apakah akan lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Toh saya tidak akan mengukurnya. Buat saya, semuanya itu sama. Menyedihkan !
Namun dengan berjalannya waktu, saya percaya luka akan kembali tertutup. Saya percaya segala sesuatu yang awalnya mustahil untuk dijalani, perlahan akan menjadi suatu kebiasaan. Saya akan terbiasa hidup tanpanya. Saya akan terbiasa tidak lagi mendengar suaranya. Saya akan berhenti merindukannya dan memanggil namanya dalam hati. Saya tahu, semuanya akan kembali baik-baik saja.. separah apapun hati ini pernah atau akan patah.

PS : dear XO, countdown really counts now.. I'll make sure I'll completely disappear. As if.. I were never exist.

Keine Kommentare: