" Bagaimana, kamu menginginkan kematian mu ? "
Saya percaya, saya bukan satu-satunya di ruangan itu yang terkejut, saat pertanyaan itu dilontarkan. Sejenak hanya hening yang menguasai. Tidak ada bisikan atau percikan tawa yang biasanya terdengar di tengah ruang kuliah. Saya masih berusaha mengolah pertanyaan itu di otak sekali lagi, berusaha meyakinkan diri sendiri, apa yang saya pahami, sesuai dengan apa yang memang ingin dipertanyakan. Bagaimana , saya menginginkan kematian saya ? --
" Schnell und schmerzlos " , dua kata itu yang kemudian saya dengar dari dalam diri saya sendiri, sebagai jawaban. " Singkat dan tanpa rasa sakit " Itu adalah jawaban saya . Mungkin itu terkesan seperti suatu spontanitas, mengingat tidak sampai dua menit saya berpikir, dan muncullah pemikiran itu.. namun kalau saat ini, saya diberikan waktu lagi untuk berpikir secara jenak dan tidak usah tergesa-gesa, saya rasa jawaban saya masih akan tetap sama.
Saya ingin , saat kematian menjemput saya, saya tidak harus merasakan sakit, dan saya ingin, hal itu berjalan singkat.
Beberapa hari setelah nya, saya diberi kesempatan untuk berkenalan dengan seorang pasien. Seorang istri yang penuh hormat kepada suami nya, dan juga seorang Ibu untuk dua anak yang diadopsinya dari panti asuhan namun dirawatnya seperti anak-anak yang ia besarkan di rahim nya sendiri. Seorang pasien yang saat saya temui sedang merajut topi untuk bayi tetangga nya yang akan lahir kira-kira nanti seminggu sebelum natal. Dia mempersilakan saya duduk di sampingnya. Mengijinkan saya memeriksanya. Menjawab semua pertanyaan saya dengan lengkap dan jelas. Saya tidak mendengar sedikit pun rasa takut atau gentar dari suaranya. Saya tidak menangkap secuil pun rasa ragu atau takut maju dari binar matanya. Dari bibirnya, tidak pernah lewat satu kalimat pun tanpa senyum.
Ibu itu.. , harus merelakan satu indung telur nya diambil saat dia masih berusia 16 tahun. Satu tahun setelahnya, dia harus kembali merelakan indung telur sebelahnya. Saat usianya menginjak 30 tahun, saat di mana dia dan laki-laki yang dicintainya sudah hidup sebagai suami istri, dia harus merelakan rahim nya diangkat. Sejak hari itu dia belajar menerima kenyataan bahwa dalam hidupnya kali ini, dia tidak akan bisa melahirkan bayi-bayi dari rahim nya sendiri. Tapi itu bukan berarti dia tidak bisa melahirkan cinta untuk bayi-bayi yang dilahirkan dari rahim wanita lain. Perjuangannya tidak berhenti di situ. Tumor yang ada di perut nya seperti tidak ingin dimatikan. Beberapa tahun kemudian, usus besar nya harus dikeluarkan. Dan saat ini, sisa usus yang ada di perut nya hanya 60cm. Sementara sel kanker nya masih tetap terus menyebar, dan saat ini mulai menyerang ginjal nya, ada penyakit lain yang ditemukan yang menyerang pembuluh darah nya. Satu penyakit yang tidak sering ditemukan, dan jarang ditemukan pada wanita. Satu penyakit yang tentu saja semakin memperburuk keadaannya. Namun Ibu itu menceritakan semuanya kepada saya dengan tersenyum. Saya tidak tahu, kekuatan dan ketabahan dari mana yang dia punya. Saya tidak mengerti, daya dari mana yang merasuk di diri nya. Saya kagum, juga merasa malu. Parameter vital saya boleh jauh lebih stabil dari ibu itu. Daya tahan tubuh saya boleh lebih kuat dari ibu itu. Namun semangat hidup nya, namun ketabahannya menghadapi masalah, namun daya juangnya... jauh lebih besar dari yang saya punya. Saat waktunya saya harus pergi dan berpamitan dengan ibu itu, dia mengajukan pertanyaan kepada saya. Dengan suaranya yang ramah dia bertanya " menurut buku-buku dan ilmu yang kamu pelajari, berapa lama waktu yang masih saya punyai ? " Sejenak saya hanya bisa menatapnya. Menatap sosok wanita tegar dengan badan yang kecil dan terbalut jaket merah muda nya yang panjang.. Saya tidak mampu menjawabnya. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya.. tapi lebih karena saya tidak mau menjawabnya ! Lalu saya kembali mendekat padanya, meletakkan semua berkas dan alat-alat tulis saya di atas ranjangnya, dan saya memeluknya. Erat... erat sekali sampai saya sanggup merasakan denyut nadi nya. Lalu dia berkata pelan " masa bodoh dengan apa yang dikatakan buku-buku mu. saya akan tetap hidup sampai kapan saya diberi hidup. tidak akan ada yang tahu. tidak kamu. tidak dokter-dokter spesialis itu. tidak saya sendiri. cuma Dia yang tahu. "
tentang mati ... kadang orang merasa hal itu terlalu tabu dibicarakan. seperti suatu akhir dari segalanya, dan suatu momok yang sangat mengerikan. tapi benarkah begitu ?
tidak kah seharusnya kita lebih takut pada hidup, karena dari situ lah semuanya ditentukan?
kalau saya menjalani hidup ini sebaik mungkin.. kalau saya menghargai hidup ini sama seperti saya menghargai dan menghormati Pemberi nya.. saya rasa saya tidak akan perlu takut menghadapinya suatu saat nanti .. menghadapi kematian...
As long as You guide me, I shall be OK.
3 Kommentare:
i like it...
orientasi pada hasil akhir dan melupakan proses?
@ mencari jawab
kok bisa melupakan proses ? kalo kita mau berorientasi pada hasil akhir, bukan sebaiknya kita juga mengusahakan mulusnya si proses untuk mencapai hasil akhir yang optimal ?
regards :)
Kommentar veröffentlichen